Menjelang siang, masih pagi yang berangsur pergi. Saya dan beberapa teman sudah sampai di Kopi Klotok. Apa yang dicari di sini dalam suasana weekdays yang tidak ramai? Tentu saja kuliner dan suasana Kopi Klotok yang mengingatkan diri pada kampung halaman.
Kami mengambil tempat duduk di beranda. Di kursi kayu khas dengan meja kayu yang lagi-lagi mengingatkan pada kampung halaman. Mengingatkan diri pada masa kecil di tahun 90-an di mana kondisi saat itu semua serba terbatas. Buku bacaan yang terbatas padahal saya penggila buku. Makanan yang terbatas uangnya untuk membeli padahal saya hobi makan, dan permainan modern yang juga terbatas. Untungnya, hutan, kebun, sungai, rawa, sawah jadi tempat belajar dan bermain yang asyik.
Kami duduk. Kemudian memesan pisang goreng, jadah dari beras ketan putih, dan teh yang dibuat dari serbuk teh kasar khas pedesaan. Sembari menunggu di hadapan kami telah terbentang hamparan sawah dan kebun. Kembali mengingatkan saya pada banyak petualangan di sawah dan sungai-sungai. Memancing ikan bendera yang memiliki tubuh dengan warna indah. Atau menangkap ikan khas sungai dengan seser serupa dengan tudung saji dari bambu. Jika beruntung ikan khas seperti ikan gabus dan ikan belida akan didapatkan. Di beberapa spot, udang-udang kecil akan masuk ke seser lalu ditangkap dan disimpan ke dalam ember.
Pada sawah-sawah itu, petani berharap pada padi-padinya untuk terus berkembang dan menghasilkan buliran padi yang mengandung beras. Harapan yang umum yang ada pada petani. Jika musim panen tiba, padi-padi tersebut akan dijemur di depan rumah sembari dijaga ketat dari incaran ayam.
Pisang goreng dan secangkir teh datang, hadir dengan tempat minum dan piring dari kaleng yang khas.
Saya menghirup aroma teh yang begitu khas. Lagi-lagi aroma yang kembali mengingatkan pada tahun tahun di mana masa kecil berjibaku. Aku menyeruput teh hangat kemudian mengambil pisang goreng yang tidak neko-neko disajikan. Pisang kepok yang digoreng dengan tepung tanpa ada tambahan keju, coklat atau lainnya.
Saya mulai menggigit pisang goreng dan mengunyahnya. Dulu, menikmati goreng pisang adalah hal yang ekslusif buat saya. Meskipun buah pisang melimpah namun minimnya uang untuk membeli tepung dan minyak akhirnya membuat pisang disajikan dengan direbus atau dikukus saja.
Dulu salah satu cita-cita bocah saya adalah bisa menikmati aneka gorengan di warung khas Jawa yang menyediakan soto, gado-gado atau pecel uleg. Biasanya gorengan yang ada adalah pisang goreng, bakwan sayur yang dibuat bulat dan tahu bunting atau tahu isi.
Saya perlu menabung atau menyisihkan uang untuk bisa menikmati aneka gorengan dan segelas es teh. Namun tidak bisa makan banyak karena uang jajan yang juga tidak terlalu banyak. Saat menjadi dewasa seperti ini, Alhamdulillah semua bisa dibeli. Namun entah mengapa rasanya berbeda entah itu rasa makanannya atau rasa dalam perasaan yang telah berbeda.
Pisang goreng di Kopi Klotok, saya nikmati sambil menyeruput teh hangat. Ah.... Nikmat sekali, saking nikmatnya seolah mampu meredam tekanan pekerjaan dan tekanan kehidupan yang silih berganti serta meredam ambisi dan segala ekspektasi manusia.
Saat siang sudah turut serta, setelah obrolan mengalir ke sana kemari dan tanpa sadar pisang goreng dan teh sudah raib begitu saja menggali kenangan demi kenangan.
Kami ke dapur Kopi Klotok, mengambil makan siang yang disajikan prasmanan. Menu khas pedesaan, sayur lodeh, tumis sayuran khas, dan telor dadar jadi pilihan yang kembali mengetuk kenangan demi kenangan di masa silam.
Menikmati hidangan dan suasana di Kopi Klotok seperti menikmati kenangan demi kenangan tentang masa kecil di kampung halaman yang luput dari ambisi, ekspektasi dan tekanan akan kehidupan. Semua berjalan damai. Berjalan tentram. Masya Allah....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar